Brand ternama Supreme tidak pernah lelah membuat warga gempar terhadap produk yang ia luncurkan. Walaupun basis utama perusahaan ini adalah bidang fashion, Supreme justru terkenal karena cara pemasaran mereka yang nyentrik. Semua barang tersebut harganya sangat mahal dan cenderung tidak masuk akal.
Tapi yang mengherankan, peminatnya selalu masif sampai menciptakan antrian panjang bak ular anakonda! Berkaca pada 2015, Supreme sempat mengeluarkan linggis dengan logo kebanggaannya dengan banderol 4,7 juta rupiah. Masih kurang nyentrik? Silahkan tebak sendiri harga batu bata, fire extinguisher, sampai terompet mainan yang semuanya terpasang logo sultan tersebut.
Belum lama ini di tengah wabah Covid, Supreme kembali menciptakan gebrakan dengan join kerja sama bersama Oreo demi produk biskuit berwarna merah. Dijual dalam kemasan sachet isi 3 keping saja, harganya mencapai 500 ribu rupiah hanya dengan memenangkan !
Padahal, bentuk si biskuit persis sama seperti Oreo pada umumnya, terkecuali pada pemilihan warna saja. Bisa ditebak, lagi-lagi biskuitnya para sultan ini diserbu netizen sedunia. Bahkan Oreo Supreme sempat menjadi ajang pamer di media sosial hingga para youtuber pengabdi adsense.
Apabila kita berpikir secara kritis dan mendalam, timbul sebuah pertanyaan mengapa Supreme memiliki daya tarik yang luar biasa bombastis. Penggemarnya sangat fanatik hingga bahkan melebihi kesetiaan anggota sekte pemujaan okultisme iluminati. Berapapun harganya, selama apapun antriannya, hingga rela terbang ke belahan bumi lain semata-mata demi sebuah Supreme. Mari kita coba kupas beragam penyebabnya seperti berikut.
Sejarah Awal Brand Supreme
Berpuluh tahun yang lalu tepatnya pada 1994, Supreme pertama kali didirikan berupa kios mungil dengan fokus menjual perlengkapan skateboard di New York. Pendiri toko imut tersebut adalah James Serbia. Menjelang era 2000 an, Supreme mulai berinisiatif melakukan ekspansi lini produk, dari sekedar skateboard lalu ditambah kaos distro.
Semua berjalan seperti perjalanan bisnis pada umumnya, naik turun grafik penjualan namun tetap bergerak menanjak secara dinamis. Kemudian suatu hari di sekitar 2006, produsen sepatu ternama yaitu Nike tertarik menggandeng Supreme untuk meluncurkan sepatu eksklusif dengan nama Blazer.
Satu tahun berikutnya, artis holywood Kanye West yang sedang naik daun saat itu tertangkap basah oleh paparazi sedang memakai Supreme Blazter. Dari situlah publik mulai mengenal brand indie yang awalnya diremehkan ini.
Sebetulnya kesuksesan Supreme bukan hanya mengandalkan clickbait semata. Insting yang tajam dalam membaca tren fashion merupakan salah satu kekuatan Supreme. Siapa mampu menyangka, sebuah kaos oblong edisi perdana dengan sablonan wajah aktor Robert De Niro mampu mendongkrak popularitas Supreme. Publik ternyata menyambut baik konsep minimalis dari rancangan kaos ini.
Kekuatan lain yang dimiliki Supreme adalah eksklusifitasnya. Semua barang yang pernah meluncur di pasaran selalu diproduksi secara terbatas sekali. Apabila sold out, manajemen berkomitmen untuk tidak melakukan restock selamanya. Tingkat kelangkaan yang luar biasa tersebut membuat efek panik bagi konsumen.
Mereka nekat melakukan tindakan berlebihan mulai dari bolos sekolah, kabur saat jam istirahat kantor, bahkan tanpa segan terbang ke luar negeri. Apapun dilakukan demi mengoleksi Supreme. Antrian super panjang selama belasan jam merupakan peristiwa yang wajar jika bicara merk raksasa ini.
Peran Sisi Psikologis Dengan Brand Supreme
Penggemar militan Supreme sesungguhnya tidak pernah menganggap perusahaan ini sebagai sebuah logo belaka. Bagi mereka, ini semua adalah demi kepentingan identitas. Maka dari itu, fenomena viralnya Supreme sangat erat kaitannya dengan peran sisi psikologis.
Di Universitas College Of London, ada seorang psikolog bernama Dr. Dimitrios Tsivrikos. Beliau telah melakukan pengamatan yang mendalam dari segi kebiasaan manusia dalam mengonsumsi apapun. Menurut beliau lagi, kegiatan manusia dalam mengoleksi barang adalah suatu tindakan yang sangat alami dan wajar. Naluri itu sangat kental sekali dengan kemauan kuat untuk bertahan hidup.
Alih-alih sekedar mengumpulkan barang berdasarkan bentuk fisik, kita cenderung melibatkan perasaan dalam berperilaku. Kita akan menandai koleksi barang dengan tanda tertentu supaya tidak tertukar atau direbut hak miliknya oleh orang lain. Pola pikir yang sama ternyata dapat diimplementasikan terhadap kebiasaan berburu Supreme yang bertujuan untuk mencari identitas dan pembeda dari sesama manusia.
Mengetahui fakta tersebut, seketika perbuatan kolektif seperti itu jadi jauh lebih masuk akal dan mulai dapat dimengerti oleh logika. Mulai sekarang kita tidak akan merasa heran jika melihat pemandangan atau berita tentang ludesnya penjualan produk Supreme di berita internet.
Lagipula loyalitas tinggi konsumen dalam jumlah besar dapat menciptakan iklim investasi yang sehat dan menguntungkan. Sebagai contoh, sebuah jaket jins merah jambu yang awalnya dijual senilai 3 juta rupiah, mendadak naik mencapai 40 juta ketika sold out!
Kesimpulan Fenomena Brand Ternama
Suka atau tidak, fenomena kegilaan terhadap brand Supreme ini memang nyata adanya. Bisa dibilang, seratus tahun terakhir kita belum pernah merasakan hingar bingar seputar fashion seliar dan sefanatik konsumen Supreme. Produk tersebut kini sudah bisa dianggap setara layaknya barang antik dengan nilai fantastis. Bagaimana dengan anda, apakah tertarik untuk mulai berburu Supreme?